Aku Sebenarnya, Tidak Ada
Dalam perjalanan pulang, langkahku terasa semakin berat seiring dengan bisikan angin yang menyisir wajahku. Angin itu, bagaikan tangan-tangan halus yang berusaha menghapus jejak lelah di wajahku, namun pada saat yang sama, angin itu juga membawa kabut yang memburamkan mataku. Aku merasakan pandangan bulan, bulat dan terang, yang tak henti-hentinya mengawasi langkahku. Bulan itu terlihat seperti mata yang tak pernah berkedip, melihatku berjalan menuju rumah. Hari-hari yang kulalui terasa monoton, penuh kejenuhan yang tak berujung. Pikiranku sering membayangkan jika suatu hari, seekor ular raksasa akan melilit bulan, menariknya turun ke bumi, dan menjatuhkan seribu meteor ke tamah ini. Ya, itu layaknya pralaya, akhir dari segalanya, yang terjadi begitu saja tanpa peringatan. Aku merasa seakan aku bukanlah diriku yang sebenarnya. Seolah aku telah meninggalkan diriku yang asli di suatu tempat jauh di belakang, dan yang tersisa hanyalah bayang-bayang semu. Aku, seperti sebuah fragment, pecahan dari ketidakberhasilan, sebuah entitas yang mencoba menantang takdir namun gagal. Aku, bagai tetesan cahaya yang terhenti dalam perjalanannya menuju surya, terjebak dalam kegelapan. Aku, pada hakikatnya, mungkin memang tidak ada, mungkin hanya sebuah bayangan tanpa substansi, atau mungkin hanya sebuah riak yang tesesat dalam perjalanan menuju laut.