Dialog Senja
"dik, kamu nangis lagi ?", kata kakak seraya mengusap pipiku
"ngga, kok" jawabku
"trus, kenapa bengek begitu?", tanya kakak
"sebenarnya aku ngga sedih, kak. Tapi mataku tiba-tiba berair. Semua hal-hal yang sudah aku lakukan dengannya, perlahan membatu menjadi memori, dan sekarang aku ngga mau kehilangan memori itu menjadi prasasti usang yang melekat di hatiku", kataku sambil menyeka air mata
Langit kemudian merona jingga, dengan matahari yang sembunyi dibalik pohon tua di depan halamanku.
"dik, bukannya kamu benci dia ya ?", imbuhnya "iya kak, aku benci semua keputusan bodohnya, aku benci semua cacian dan tamparannya sewaktu kecil, aku marah dengan cara dia yang selalu seenaknya sendiri", jawabku
"lha , trus kenapa kamu menangis? seharusnya kamu senang, dia pergi akhirnya tidak ada yang mengusikmu kan ?"
"setiap kali aku memastikan kebencianku, aku tersadar bahwa, seribu kali pun aku hidup kembali, aku ngga akan pernah bisa mengembalikan semua yang sudah dia lakukan padaku kak. Semua luka dan bekas ingatan buruk yang dia berikan padaku semata-mata untuk memperlihatkanku bahwa ia adalah contoh buruk yang tidak harus aku contoh, dan dia bukan manusia super, yang tahu harus berbuat apa dengan pilihan hidup yang amat sangat terbatas.", jawabku sambil mengambil nafas
"memang, saat ia hilang, semua baru terasa masuk akal. Dan bagian diriku yang menyesali ini baru keluar untuk ikut menangis", imbuhku
"dik, menangis itu wajar. Apalagi kita kehilangan sesosok tumpuan hidup. Tapi menyesali apa yang sudah terjadi itu ngga masuk akal.", kata kakak
"kenapa kak? bukankah penyesalan itu mendatangkan ilham bagi kita untuk berbuat menjadi orang yang lebih baik lagi ?", kataku sambil melihat wajak kakakku yang merona jingga
"iya betul, penyesalan melahirkan refleksi pemikiran kita untuk maju kedepan. Tapi menyesal akan apa yang sudah terjadi, apalagi sampai berlarut didalamnya hanya akan membuatmu tenggelam dalam jurang keputus-asaan", kata kakak
"iya, kak. Aku sangat tahu itu", jawabku cepat "aku sangat paham liku jurang itu, aku tinggal disana menahun lamanya, dan sekarang ketika aku bersiap untuk kembali ke daratan, aku melihat dasar jurang itu lagi", imbuhku
"yasudah, nampaknya tidak ada jalan lain, selain membiarkan semua sisi dirimu menangis dik", kata kakak
"betul kak, aku pun tidak ingin kembali lagi ke jurang itu. Sepertinya hanya waktu yang bisa mengikhlaskan memori ini menggunung di hatiku", kataku
Langitpun redup, diiringi dengan burung-burung terbang kembali ke sarangnya. Kakak beranjak masuk kedalam, namun aku masih terpaku pada rona redup sang surya. Aku harap luka-luka ini cepat pulih.